Koran Mingguan dari Pekanbaru |
Cerber : CINDAI Karya : Indra Wedhasmara. Detak - Detik gerimis subuh masih saja berdentang mamtuk - matuk pelataran bingkai atap rumah yang bersisihan di pinggiran Sungai Siak diantara pepohonan nyiur renta . Disana -sini pepohonan itu bayak yang sudah keropos . Sebatang diantaranya tegak menjulang di tepi kolam kangkung di belakang rumah pucuknya terpenggal . Tengah malam tadi dipancung tebasan petir . Lehernya hangus. Sisa-sisa hujan renjai tetap saja menggulirkan butir-butirnya menggelinding diantara bilah-bilah atap rumbia.Disebelah rabung di ujung ranjang, ada bias yang basah. Rembesan air yang berbulir satu - satu jatuh mengetuk - ngetuk ember plastik yang menampung di lantai rumah panggung itu. Suara kecepak- kecepak sibakan dayung perahu yang hilir mudik dari arah Sungai Siak seolah menyibak- nyibak permukaan air yang mengalun dan beriak dipelatarannya. Sesekali gelegar suara mesin speddboat yang melesat keras pun seakan memecah keheningan pagi itu, bagaikan suara lebah yang sarangnya dikepak elang. Riuh...!. Tak luput pula ada batang-batang kayu lapuk yang terombang-ambing seolah tergelincir dan terseok- seok menggelinding di perut air yang nampak hitam kumal. Segala pumpunan hingar-bingar itu itulah yang mengusik keterlenaan Siti Fauziah Maharani . Seolah segudang berisik tidak ingin berkompromi secuil pun pada kelelapan Siti. Segalanya bagaikan menjentik- jentik ke telinganya. Pentas alam ternyata tak rela Siti untuk memejamkan kelopak mata, kendatipun hanya sesaat. Sesaat dia menggeliat sambil merentang-rentangkan tangan ke atas dan kesamping seakan sedang bergulat mengendorkan urat-urat tubuhnya yang bagaikan tegang. Diangkatnya punggung dan bersandar di bingkai ranjang besi yang seketika berderit-derit menopang tubuhnya .Sambil menyibakkan selimut yang membalut ke batang tubuh, ditekuknya kedua kaki hingga lututnya merapat ke dada. Dia merenung sesaat seraya mengganjalkan dagunya di kedua lutut yang terdekap. Lama dia seolah bermenung. Entahkan apa gerangan yang sesaat berputar dibenaknya. Dilunjurkannya lagi lurus-lurus ke dua kaki hingga selimut melorot jatuh diperutnya yang terbuka. Belahan kimono tidur warna ungu membelah bahagian sebelah paha, karena ikatannya terlepas. Perut dan pangkal paha yang seputih dadu itu juga merasakan resapan dingin yang segera merayap. Dia lalu menguap lebar-lebar , sesuka hati. Lalu melipat lagi batang tubuhnya . Layaknyadaun kering yang bergulung disengat matahari. Sesekali digetarkan nya tubuh dengan suara gigi gemeretak sekedar ingin melepaskan rasa kantuk dan dingin yang terus saja mengerubungi setiap sendi urat-urat tubuhnya. Duh...!, aliran darah panas kok mendadak menjalar ke ubun-ubun hingga ujung kaki. Kali ini dia mencoba melunjurkan lagi tubuhnya berbaring telentang. Suara-suara gesekan sandal jepit memulas ke telinga. Dia membalikkan baringnya menghadap ke pintu. Dia seperti sedang menunggu siapa gerangan yang menghampiri pintu kamar.. " Siti......., katanya kau mau ke Pekanbaru. Jadi apa tidak...?! " itu suara emak di luar pintu. Dengan tubuh penat serasa bayang-bayang, dia bangkit. Dikancingkannya belahan kimono yang terkuak di bekahan dada yang menonjolkan lekuk garsis kuning membias lembut. Rambut pendek yang melekuk hingga dibawah telinga yang kusut berserak , dirapikannya dengan ujung-ujung jemarinya yang lentik. Helai-helai nya yang menumpuk di kening dikautnya ke atas. Wajah mirippenyanyi Nafa Urbach itu sedikit agak berkerut. Ada galau keleahan yang tetap saja menungkup. Sambil melengsot turun, kedua tangan masih saja berlipatke dada menahan dingin yang seakan menyesak kuduk. Ditujunya pintu. Diputarnya anak kunci dan pintu terkuak. " Siti ke Pekanbaru, agak siang Mak " kata Siti. Emak yang berperawakan sedikit gemuk tersenyum sambil mengetatkan kain sarung yang agak kedodoran membelit di pinggang. " Kau harus pergi ini hari. Sebab, tenunan yang kau buat sudah menumpuk. Sementara Pak Leman di Pekanbaru sudah bertanya terus ke napa belum di kirim ke tokonya. Padahal, beberapa pusat perbelanjaan sudah mendesaknya. " emak mengangkat helai rambut Siti yang menjulur menempel di kening. ( 1 ) " Siti tahu Mak. Tetapi di hari Minggu seperti ini biarlah dulu Siti rehat sejenak. Apalagi, selama beberapa hari ini tenaga Siti habis dikuras mengajar di Madrasah. Apalah salah nya kalau Siti bayar kelelahan itu hanya dalam beberapa jam saja. " Siti menyandarkan punggungnya di bingkai pintu. Selimut semakin didekapnya ke sekujur tubuh. ' Bukan begitu, emak hanya mengingatkan saja. Nanti sudah lah kau berpenat-penat menenunnya, dibiarkan menumpuk. Padahal, hasil Cindai kau tu bukan tidak diminati orang. " " Iyalah Mak. Kalau begitu Siti mandi dulu. Oh, iya. Ayah ke mana Mak. " tanya Siti sebelum beranjak. " Masih belum pulang dari surau. " emak segera meninggalkan Siti yang melangkah ke sebalik pintu. Menyambar handuk dari sangkutannya. Diluncurkannya kimono, lalu dibalutnya batang tubuhnya yang sehalus mulus itu dengan handuk hingga ke pangkal dadanya yang ranum bagaikan kembaran kelapa gading berusia muda. Dia bergegas ke ruang belakang dan menuruni anak tangga . Ditolaknya pintu kamar mandi yang bersebelahan dengan kolam. Ditimbanya air dan mencurahkannya ke dalam tong penampung. Setelah itu di sibaknya handuk yang mendekap ke tubuh dan menyangkutkannya di dinding kamar mandi yang tingginya hanya sebatas bahu. Batang tubuhnya yang bagaikan warna pinang muda itu begitu ramping dengan pinggul padat yang sesekali berombak dan bergoyang takkala dia bergerak. Badannya yang bagaikan pualam mirip patung dewi telanjang yang tegak di tengah kolam, begitu bernuansa ukiran gading padu. Ketika gayung mencurahkan air sejuk menyiram ke ubun-ubun sampai meluncur berbulir-bulir menggelinding bagaikan tergelincir dari batang tubuhnya seputih mulus itu, dia bergidik. Berkali-kali menggoyang dan menguncang-guncangkan tubuh hingga butir-butir air memercik. Jemarinya yang lentik meluncur dan mengelus-elus pelataran tubuh dari batang lehernya yang jenjang dan turun perlahan ke arah pangkal dadanya yang seolah bukit salju. Sesekali dibagian pucuk disentuhnya, dia menggelinjang merasakan sentuhan yang bagaikan tidak senagaja . Bukit kembar yangmasih kencang dan mencuat itu bergetar lembut. Dia berdesah. Kepalanya terdongak. Ada helaan nafas sesaat. Usapan lembut telapak tangannya kini menyelusuri perutnya yang ramping lalu merayap hingga menggapai diantara celah-celah pahanya yang padat. Acapkali dia bergidik dan menggeliat ketika busa-busa sabun merambah disana-sini diantara lekukan tubuhnya yang paling sensitif. Dan gelembung-gelembung pelangi itu pun seringkali pula pecah dan menyeruak di situ. Saat itulah setiap kali pula dia berdesah dan acapkali pula dia menggelinjang menahan sesak di dada. Siti sudah tegak didepan cermin hias. Tubuhnya masih saja berbalut handuk dengan tungkupan handuk kecil masih juga terlilit di situ. Dipupurnya dengan tipis wajah yang oval itu . Alis mata yang melentik hitam tidak disentuhnya dengan celak, karena warna alis itu sudah alami. Hanya bibirnya yang tipis itu saja yang dipoles dengan lipstic merah jambu. Siti memang manis. Hidungnya yang mancul berbintik tahi lalat dilekukannya membua aut muka itu memunculkan keanggunan. Bola matanya yang bulat bening selalu bercahaya dan berbinar. Tidak heran jika di desa itu lingkungannya banyak perjaka yang penasaran. Mungkin hanya dikarenakan posisinya sebagai seorang pendidik itulah yang membuat keberuntungannya. Sebab, tidak satupun pemuda kampung yang mampu mendekatinya , karena dipengaruhi rasa segan dan hormat. Dia memang terhindar dari segala tindakan yang tidak terpuji. Siti memang menyadari hal itu semua, karenanya dia tetap mencoba meneguhkan dan mempertahankan jati dirinya yang terlanjur disegani itu. Sejenak dia menuju lemari pakaian mengambil busana panjang warna cokelat susu berikut seluet ketat berkerah bunda dan berhias renda putih, lalu dikenakannya pasangan busana itu. SebentaR BERPUTAR DI DEPAN CERMIN. " Duhhhh...., yang cantik lah anak dara emak ini. " mendadak Emak muncul di ambang pintu. Dia kagum dengan penampilan anak gadistunggalnya itu. " Ala, Mak ini pula. Jangan lah terlampau selangit Emak memuji Siti. Kalau jatuh, bisa sakit Mak. " Siti terkekeh. Dia malu hati juga dengan sanjungan emak . " Ehhhh...., emak yang benar saja. " " Kalau begitu, siapa dulu emak nya. " Siti mrapikan lipstics yang sedikit mencomot ujung bibir.. (2) " Eh, sesampainya kau nanti di Pekanbaru. Kalau kebetulan tidak sempat pulang. Menginap saja semalam di rumah Macik kau si Ani di Tangkerang . Tetapi, kau khabari lebih dahulu ke rumah Pacik Dolah kau tu diseberang. Dia kan punya telepon. Nanti anaknya si Faridah itu bisa mengabari emak . " emak duduk di bibir ranjang. " Mungkin Siti memang tidak bisa pulang hari ini. Biarlah, Siti tetapkan saja besok pulang. Jadi tak perlulah Siti telepon Emak lagi. Bagaimana...? " Siti meraih tas kecil dari atas lemari dan memasukkan sepasang pakaiannya ke dalam. " Begitu pun jadi. Oh, iya. Kain - kain tenunan kau tu sudah emak persiapkan di beranda depan. Kalau ada apa-apa di sana, segera beritahu Emak. " " Ada apa Mak...? " Siti mengerutkan alis mata. " Apa sajalah. Ehhhh...., baru emak teringat. Ayah kau tu mau titip surat untuk Pak Harun di Jalan Harapan Raya. Kalau bisa harus kau sampaikan. Sebab, Pak Harun itu sahabat dekat ayah kau tu ketika mereka masih bujang. " emak beranjak ke luar lalu masuk lagi membawa amplop surat. " Duhhhhh......, segan lah Siti ke sana Mak. Kenapa tidak di kirim ayah saja melalui kantor Pos. " entahkan bagaimana Siti merasa keberatan menemui Pak Harun yang menurut emak teman akrab ayah sejak muda. " Tidak perlu lah kau berlama-lama di rumahnya. Sudah kau sampaikan surat itu. Sudahlah.. " kata emak seperti mendesak keberatan hati Siti. " Bukan apa-apa Mak. Anaknya Pak Harun yang bekerja di perusahaan swasta itu lah yang membuat Siti enggan. " wajah Siti sedikit agak berubah. Tidak seperti tadi ceria. Kali ini agak muram. " Maksud kau si Iskandar itu. Ahhhh.....!,apa peduli mu pada si Is itu. " emak tersenyum simpul. " Iya, tetapi ayah sejak dulu ingin menjodohkan Siti sama si Is itu. " " Kalaupun iya, apalah salahnya. Itu kan niat ayah kau saja. Keputusannya kan terserah pada diri kau tu. " emak masih tersenyum kecut. Seolah mengusik perasaan Siti yang sedikit agak galau. " Memang terserah Siti. Tetapi ayah nampaknya seperti ingin bertegas-tegas agar Siti menerimanya. Entah-entah surat ayah itu membicarakannya soal Siti dan si iskandar itu Mak. " Siti duduk disebelah emak. Wajahnya sesaat murung. " Emak rasa tidak. Mungkin hanya surat biasa saja. Maklumlah mereka kan bersahabat baik. Paling tidak ingin bertukar khabar saja. " " Itu kata emak. " bibir Siti merot sambil berpeluk tangan seperti kesal. " Habis , kata siapa lagi...? " emak mengerutkan kening. " Tetapi emak juga sama dengan ayah. Begitu kuat kuat keinginannya untuk menjodohkan Siti sama si Iskandar itu . Iyakan...? " bibir Siti kian mencong. Sepertinya di sedang menahan emosi jiwa. " Kuat itu tidak pula. Hanya kami pikir-pikir, apa keberatan kau dengan si Iskandar itu. Gagah, tampan. Sudah bekerja lagi dan kedudukannya cukup bagus. Jadi menurut Emak lah, tidak ada kurangnya dengan si Iskandar itu. " wajah emak bagaikan memelas. Seolah dia ingin Siti berpikiran luwes. Tidk berprasangka yang bukan-bukan terhadap niat mereka dan pada diri Iskandar sendiri. " Emak seperti membandingkannya dengan Bang Arman pacar Siti yang sama - sama mengajar di Madrasah. Dia hanya seorang guru honor, sama seperti Siti. Dan tentu masa depannya pun masih terombang ambing antara langit dan bumi. " suara Siti begitu dingin memulas di telinga emak. " Kau ini jangan dulu menduga-duga dan mengarang sendiri tentang sikap kami terhadap Iskandar dan Arman itu. Bukan juga berarti membanding-bandingkannya. Sekarang Emak mau tanya dulu. Usia kau itu sudah berapa...?. Itu yang menjadi sesak benak kami selama ini. " ujar Emak berdesah, mendadak pikirannya juga jadi galau. " Kalau jodoh tak kan ke mana Mak . Percayalah, Emak tidak usah takut kalau Siti bakal menjadi perawan tua. " Siti terkekeh. Dia mencoba menghibur emosi jiwanya yang sesaat bergejolak. Apalagi emak mempersoalkan usianya sekarang. " Bukan begitu. Emak khawatir, akhirnya nanti kau ini kesana tidak, ke mari pun tidak. " " Artinya...? " dahi Siti mengekerut lagi. ( 3 ) " Tidak ke si Arman dan tidak pula ke Iskandar. " emak berdesah panjang. Tenggorokannya terasa begitu terjepit. Entahkan kenapa seketika saja pikiran emak terusik tentang keadaan Siti yng masih saja gamang untuk menikah. Kalau pun ada yang sedang ditunggunya, seorang calon suami yang masa depannya masih tergantung di awang-awang. Tidak jelas, masih harus menunggu kapan Arman kekasih Siti itu diangkat menjadi pegawai tetap. Sementara iskandar yang diinginkan mereka sendiri sudah punya kerja tetap, bahkan kelak mampu menghidupi perkawinannya dengan Siti. " Mak, tolong lah Siti diberi hak untuk memilih. " suara Siti serak. Dadanya kian sesak. Bagaikan sarat dengan emosi jiwa yang datangnya tumpang tindih. " Itu kan sudah kami berikan sejak beberapa tahun silam. Ternyata, hak memilih kau itu tak berujung pangkal . Tetap saja terombang-ambing tak tentu arah. " emak tegak. ~bersambung~ |
illustrasi diperagakan oleh model |